Herman Willem Daendels lahir di Hattem, Belanda pada tanggal 21 Oktober 1762. Pada tahun 1780 dan 1787 ia ikut kumpulan para pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Perancis, lalu bergabung dengan pasukan Batavia yang republikan. Pada tahun 1795 ia mencapai pangkat Jenderal. Seiring dengan ditaklukannya Belanda oleh Perancis pada akhir 1795, ia kembali ke Belanda. Sebagai kepala kaum unitaris ia bertugas untuk mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Invasi Persekutuan Eropa yang dipimpin Inggris dan Rusia di provinsi Noord-Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia memutuskan untuk menjadi petani dan peternak.
Daendels ditugasi untuk melindungi pulau Jawa dari serangan tentara Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah Isle de France dan Mauritius pada tahun 1807. Beberapa kali armada Inggris telah muncul di perairan utara laut Jawa bahkan di dekat Batavia (Jakarta). Pada tahun 1800 armada Inggris telah memblokade Batavia. Pada tahun 1806 armada kecil Inggris di bawah Laksamana Pellew muncul di Gresik. Setelah blokade singkat, pimpinan militer Belanda Von Franquemont memutuskan untuk tidak mau menyerah kepada Pellew. Ultimatum Pellew untuk mendarat di Surabaya tidak terwujud, tetapi sebelum meninggalkan Jawa Pellew menuntut Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik dan dikabulkan. Ketika mendengar hal ini, Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris.Maka iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara Belanda diisinya dengan orang-orang pribumi, ia membangun rumah sakit-rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di Semarang ia membangun pabrik meriam dan di Batavia ia membangun sekolah militer. Kastil di Batavia dihancurkannya dan diganti dengan benteng di Meester Cornelis (Jatinegara). Di Surabaya dibangunnya Benteng Lodewijk. Proyek utamanya, yaitu pembangunan jalan, sebenarnya dibangun juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat dari Batavia menuju Surabaya.
Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden yang disediakan Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di luar dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan tersebut. Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan itu Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus diteruskan dengan alasan untuk kepentingan mensejahterakan rakyat. Para bupati diperintahkan untuk menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan. Sementara itu para bupati harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan diteruskan dari Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon. Daendels hanya melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di Jawa Timur saat itu.
Proyek pembangunan jalan Daendels ini dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa kala itu, bahkan juga untuk ukuran sekarang, yakni 18 – 20 km/jam di tempat-tempat yang datar. Sepanjang jalan, setiap jarak 150,960 meter harus didirikian sebuah tonggak/paal untuk jadi tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi setiap distrik (kewedanaaan) untuk memeliharanya.
Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke Inggris. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena penentangan terhadap Daendels berarti pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu membuat beberapa orang pejabat seperti Prediger (Residen Manado), Nicolaas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas pimpinan Hooge Regeering) dipecat. Mereka yang dipecat ini kemudian kembali ke Eropa dan melalui informasi yang dikirim dari para pejabat lain yang diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F. Waterloo Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka menulis keburukan Daendels. Di antara tulisan mereka disebutkan terdapat proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan dengan kerja rodi dan meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada di Jawa ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari penyebutan pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan, padahal Daendels membuatnya dimulai dari Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip mereka lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip Belanda, sementara data-data yang dilaporkan oleh Daendels atau para pejabat yang setia kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister Surakarta) tidak ditemukan kecuali tersimpan di Perancis karena Daendels melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah penghapusan Kerajaan Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang banyak mengandalkan informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kekeliruan dengan menerima kenyataan pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi.
Kontroversi lain yang menyangkut laporan pembangunan jalan ini adalah tidak pernah disebutkannya manfaat yang diperoleh dari jalan tersebut oleh para sejarawan dan lawan-lawan Daendels. Setelah proyek pembuatan jalan itu selesai, hasil produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak yang diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi. Begitu juga dengan adanya jalan ini, jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos. Karena itu jalan ini oleh Daendels disebut dan diperkenalkan sebagai De Groote Postweg, Jalan Raya Pos, lebih untuk menutupi fungsi strategis militernya.
Sayangnya tidak ditemukan catatan tentang konstruksi apa yang digunakan pada De Groote Postwage ini. Sebagian besar sejarawan hanya menyatakan berdasar laporan-laporan yang ada, bahwa ribuan orang dikerahkan untuk memecah batuan guna pembuatan jalan tersebut. Jika menilik dari kurun waktu pembuatannya, bisa jadi jalan ini dibangun bersamaan dengan yang dikerjakan oleh John Metcalf, Thomas Telford, dan John Loudon McAdam, atau paling tidak tidak terlalu jauh beda waktunya. Juga belum ditemukan catatan, apakah jalan tersebut sudah menggunakan ter sebagai bahan perekat.
Kesalahan jamak yang banyak terjadi saat ini adalah menganggap bahwa jalur pantura Jawa merupakan jalur jalan Daendels. Pada kenyataan sejarahnya jalur De Groote Postwage adalah Anyer (Banten) – Jakarta – Bogor, Puncak – Cianjur – Cimahi – Bandung – Sumedang – Kandanghaur – Cirebon, dan seterusnya sampai Panarukan di Banyuwangi, ujing timur Jawa Timur. Sementara itu jalur pantura Jawa mengikuti ruas Anyer (Banten) – Jakarta – Bekasi – Karawang – Cikampek – Pamanukan – Cirebon, dan seterusnya sampai Banyuwangi. Jalur Jakarta sampai Cirebon sesuai jalur pantura Jawa ini bisa jadi lebih berkaitan dengan jalur penyerangan Sultan Agung (Kerajaan Mataram) ke VOC di Batavia.
Saat ini, baik jalur pantura maupun de groote postwage memiliki peran yang teramat penting bagi perekonomian Indonesia. Setiap hari puluhan ribu kendaraan (baik sebagai angkutan barang maupun penumpang) melewati jalur ini. Perhatian khusus perlu diberikan pada angkutan barang di jalur ini karena ditengarai membawa beban yang jauh melebihi daya dukung yang direncanakan. Jalan-jalan nasional di Indonesia hanya direncanakan untuk dilewati oleh kendaraan dengan MST (muatan sumbu terberat) sebesar 10T, sedang jalan propinsi hanya MST 8T. Kondisi ini menyebabkan jalan menjadi lebih cepat rusak dari waktu yang direncanakan sehingga perlu diupayakan metode penanggulangannya. Dari sisi aspal kemudian lahirlah kebutuhan untuk meningkatkan properties material melalui penggunaan aspal modifikasi sejak tahun 2002-2003.
Jalan Aspal Buton 6]
Pada sekitar tahun 1920an, Hetzel (seorang geolog Belanda) menemukan singkapan-singkapan deposit aspal alam di Pulau Buton. Pada tahun 1936 Hetzel telah berhasil memetakan lebih dari 20 lokasi singkapan deposit (data ini masih terus dipakai sampai sekarang, karena belum ada lagi data yang lebih baru).
Pengusahaan pertambangan aspal Buton dilakukan oleh perusahaan Belanda yang bernama N.V. Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton. Produksi dan pengapalan aspal dari Buton dalam catatan HW Vonk dapat dilihat pada tabel berikut.
Data Produksi dan Pengapalan Aspal dari Buton. a) b)
Tahun | Jumlah Diangkut (ton) |
1934 | 3.749 |
1935 | 7.905 |
1936 3) | 4.900 |
1938 | 20.000 |
1939 | 12.000 |
1940 | 57.000 |
b) MvO. H.W. Vonk, Nota Betreffende hetzel fbestuurend landschap Boeton, Celebes en Onderhoorigheden, 1937.
Dalam ANRI, Koleksi Microfilm Reel 31, Jakarta.
c) Data tahun 1936-1940 diambil dari Majalah “Copra in East Indonesia” in The Economic Review Vol I No. 4,
Departemen of Economic Affairs, Batavia-Java, tahun 1947, hlm. 122.
Deposit aspal alam di Pulau Buton termasuk tipe rock asphalt yang berasosiasi dengan material setempat seperti kapur, tanah, humus, lempung, dan sebagainya. Kadar aspal yang terkandung dalam asbuton ini sangat bervariasi, dengan yang tertingginya terdapat di Kaboengka sumur A dan E serta di Lawele. Oleh karena infrastruktur jalan dan pelabuhan ekspor di Lawele belum berkembang, maka penambangan hanya dilakukan di daerah Kaboengka dan Winto yang dekat dengan pelabuhan ekspor di Pasarwajo.
Penambangan dilakukan dengan cara manual dan hanya memilih deposit dengan kadar tinggi, karena yang memang langsung dipakai. Salah satu metode pemanfaatannya dikenal dengan nama Boetonald, yakni aspal alam Buton kadar tinggi yang diencerkan dengan aspal dari kilang. Penggunaan aspal Buton ini banyak dilakukan di Batavia, Jawa bagian Timur, dan Netherland. Namun sampai sekarang Penulis belum menemukan catatan tepatnya di ruas jalan mana aspal Buton ini digunakan. Tentu saja dapat disimpulkan pembuatan jalan dengan hotmix di Indonesia (Batavia atau Jawa Timur) sudah dilakukan jauh sebelum negeri ini diproklamasikan tahun 1945.
Selama masa pendudukan Jepang terhadap Indonesia tidak tercatat adanya kegiatan penambangan batuan aspal Buton. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan asbuton dimasukkan dalam Bagian BUTAS (BUTon ASphalt) dari Jawatan Jalan-jalan dan Jembatan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga yang dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga tertanggal 31 Desember 1954 Nomor P 25/ 56/13 dan 19 Desember 1955 Nomor P 25/51/117]. Bagian BUTAS ini merupakan hasil nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda N.V. Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton yang mengelola asbuton selama masa penjajahan Belanda.
Selanjutnya Bagian BUTAS ini dipisahkan dan berdiri menjadi PAN (Perusahaan Aspal Negara) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 195 yang disyahkan pada tanggal 12 Mei 1961. Tanggal ini kemudian diusulkan sebagai hari aspal nasional, namun tidak mendapat banyak respon seiring dengan memudarnya pamor aspal Buton.
Hasil produksi penambangan yang tercatat selama masa PAN ini sebesar 31.215 ton pada tahun 1969 dan meningkat hingga 115.000 ton pada tahun 1973. Pemerintah Orde Baru (Presiden Soeharto) saat itu berencana untuk terus meningkatkan produksi tambang asbuton seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan aspal bagi pengembangan infrastruktur jalan. Bagian BUTAS dan PAN banyak meneruskan studi eksplorasi tambang asbuton dan menuangkannya dalam peta-peta lokasi deposit serta rencana kegiatan penambangannya.
Seiring dengan berbagai penataan perusahaan-perusahaan milik negara, pada tanggal 30 Januari 1984 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 3 Tahun 1984 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Aspal Negara menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO)8]. Perusahaan Perseroan tersebut kini dikenal sebagai PT Sarana Karya (Persero). Pada masa ini didapati perubahan orientasi cara pemanfaatan / penambangan asbuton dari generasi sebelumnya. Perubahan ini, bisa jadi, dilatarbelakangi oleh menipisnya jumlah deposit dengan kandungan aspal yang tinggi. Model penambangan baru yang diaplikasikan oleh PT Sarana Karya (Persero) dengan cara blasting diduga makin memperkuat dugaan bahwa deposit dengan kadar aspal tinggi sudah menipis / habis. [deposit dengan kadar tinggi tidak dapat diledakkan].
Kadar aspal yang rendah menjadikan upaya pemanfaatan deposit aspal Buton tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang standar. Berbagai metode pemanfaatan, seperi Latasir, Latasbum, asbuton curah, asbuton micro, BMA (Buton mastic asphalt), banyak menemui kendala di lapangan dan akhirnya mengalami kegagalan konstruksi. Hal ini menjadikan penggunaan aspal Buton mulai ditinggalkan. Kontraktor lebih menyukai menggunakan aspal kilang, karena metode produksi hotmixnya lebih mudah dan standar.
Mulai tahun 2004, seiring dengan kenaikan harga minyak bumi yang luar biasa (bahkan saat tulisan ini disusun, 19 April 2008, telah mencapai kisaran USD 110 per barrel, rekor sebelumnya hanya USD 40 pada tahun 1980) menjadikan harga aspal kilang juga naik sangat tajam. Tahun 2005, bahkan harga aspal kilang naik 100% dalam waktu kurang dari setahun. Hal ini menjadikan upaya untuk memanfaatkan aspal alam Buton dilirik kembali. Namun karena belum tersedianya teknologi pengolahan dan pemanfaatan yang handal, program penggunaan aspal Buton tahun 2007 (yang didukung oleh Peraturan Menteri PU) untuk proyek-proyek jalan nasional di 14 propinsi mengalami kegagalan.
Aspal Kilang 9]
Dengan banyaknya penemuan dan pengembangan sumber-sumber minyak bumi, sejak akhir tahun 1960an Indonesia masuk bergabung dalam OPEC (Organization of Petroleum Exporting Country). Sebagian besar minyak mentah Indonesia merupakan jenis light crude yang memiliki kandungan fraksi bahan bakar tinggi, sehingga berharga sangat mahal. Minyak mentah ini oleh Pemerintah Indonesia diekspor keluar negeri. Untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar di dalam negeri, Pemerintah Indonesia melalui Pertamina mengimpor minyak mentah dari kawasan Timur Tengah yang harganya lebih murah. Crude oil dari timur tengah ini lebih banyak mengandung aspal dibandingkan crude oil Indonesia. Seluruh kilang yang ada di Indonesia saat ini dioperasikan oleh Pertamina, oleh karena itu Pertamina merupakan satu-satunya produsen aspal kilang di dalam negeri.
Sampai tahun 1990an, produksi aspal kilang dilakukan di 4 unit kilang Pertamina, seperti tercantum dalam berikut ini.
Unit Kilang | Kapasitas ton / tahun | Catatan |
Pangkalan Brandan | 10.000 | |
Plaju | 8.500 | |
Wonokromo | - | Hanya unit blowing |
Cilacap | 513.000 | |
Berkaitan dengan jenis aspal yang diinginkan oleh PU (Binamarga), maka penggunaan blown asphalt tidak lagi populer, sehingga unit blowing di Wonokromo ditutup. Begitu pula, seiring dengan efisiensi operasi kilang, produksi aspal di kilang Pangkalan Brandan dan Plaju dihentikan. Saat ini produksi aspal hanya dilakukan di unit kilang Cilacap dengan kapasitas terpasang (setelah penambahan Unit Crude 2, dan beberapa kali upgrading) sebesar 720.000 ton per tahun. Realisasi lifting aspal terbesar tercatat hanya berkisar pada 560.000 ton per tahun.
Distribusi aspal dilakukan melalui distributor / agen dalam bentuk curah dan kemasan drum yag dilakukan dari 2 supply point, yakni kilang Cilacap dan PAG (Pabrik Aspal Gresik). Meski bernama pabrik, PAG sebenarnya hanyalah merupakan supply point dengan aspal curahnya diangkut dari kilang Cilacap dengan kapal tanker. Penyaluran aspal curah ke terminal storage distributor dilakukan dari 2 supply point tersebut dengan menggunakan tanker. Penyaluran aspal curah melalui pipa khusus bawah tanah dilakukan oleh Pertamina kepada Grup PT AMU (Asphalt Mitra Utama; salah satunya adalah PT Bintang Jaya) karena lokasi terminalnya berada di sebelah kilang Cilacap.
Filling Plant, unit pengisian aspal ke dalam drum (termasuk pembuatan drumnya), dilakukan juga di kilang Cilacap dan PAG, ditambah dengan satu distributor yang memiliki licence untuk itu, yakni PT Muara Perdana (tergabung dalam grup AMU). Drum sheet yang digunakan memiliki ketebalan 0,63 mm dengan berat isi bersih aspal sebesar 155 kg per drum.
Berkembangnya pembangunan wilayah maupun sentra-sentra ekonomi mendorong konsumsi aspal untuk pembangunan jalan, sehingga supplainya tidak lagi dapat dicukupi oleh kapasitas kilang Cilacap. Untuk mencukupi ini para importir mendatangkan aspal dari berbagai kilang luar negeri (Singapore, Thailand, Iran, Saudi Arabia, Irak, dan Malaysia) dalam bentuk curah maupun drum.
Referensi :
http : //id.wikipedia.org/wiki/Herman_Willem_Daendels