04 November 2008

Sejarah Aspal di Indonesia

Jalan Raya Pos 4] 5]

Perkembangan jalan di Indonesia sebelum masa kolonialisasi Belanda tidak banyak ditemukan catatannya. Barangkali, Jalan Daendels, merupakan proyek jalan pertama di Indonesia yang cukup banyak informasinya. Namun demikian, juga banyak informasi dan hal yang perlu ditelaah lebih lanjut karena hanya berdasar dari dokumen-dokumen yang tersimpan di Belanda.

Herman Willem Daendels lahir di Hattem, Belanda pada tanggal 21 Oktober 1762. Pada tahun 1780 dan 1787 ia ikut kumpulan para pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Perancis, lalu bergabung dengan pasukan Batavia yang republikan. Pada tahun 1795 ia mencapai pangkat Jenderal. Seiring dengan ditaklukannya Belanda oleh Perancis pada akhir 1795, ia kembali ke Belanda. Sebagai kepala kaum unitaris ia bertugas untuk mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Invasi Persekutuan Eropa yang dipimpin Inggris dan Rusia di provinsi Noord-Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia memutuskan untuk menjadi petani dan peternak.
Pada tahun 1806 ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk; Louis Bonaparte; sepupu Napoleon Bonaparte) untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan provinsi Friesland dan Groningen dari serangan Prusia. Setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, ia dikirim ke Hindia-Belanda sebagai Gubernur-Jendral, menggantikan Gubernur-Jendral Albertus Wiese.

Daendels ditugasi untuk melindungi pulau Jawa dari serangan tentara Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah Isle de France dan Mauritius pada tahun 1807. Beberapa kali armada Inggris telah muncul di perairan utara laut Jawa bahkan di dekat Batavia (Jakarta). Pada tahun 1800 armada Inggris telah memblokade Batavia. Pada tahun 1806 armada kecil Inggris di bawah Laksamana Pellew muncul di Gresik. Setelah blokade singkat, pimpinan militer Belanda Von Franquemont memutuskan untuk tidak mau menyerah kepada Pellew. Ultimatum Pellew untuk mendarat di Surabaya tidak terwujud, tetapi sebelum meninggalkan Jawa Pellew menuntut Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik dan dikabulkan. Ketika mendengar hal ini, Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris.Maka iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara Belanda diisinya dengan orang-orang pribumi, ia membangun rumah sakit-rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di Semarang ia membangun pabrik meriam dan di Batavia ia membangun sekolah militer. Kastil di Batavia dihancurkannya dan diganti dengan benteng di Meester Cornelis (Jatinegara). Di Surabaya dibangunnya Benteng Lodewijk. Proyek utamanya, yaitu pembangunan jalan, sebenarnya dibangun juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat dari Batavia menuju Surabaya.

Berbeda dengan apa yang diyakini orang selama ini, Daendels selama masa pemerintahannya memang memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak dilakukan dari Anyer hingga Panarukan. Jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada ketika Daendels tiba. Pada ruas ini ia hanya memerintahkan untuk memperbaiki perkerasannya dan melebarkannya sehingga waktu tempuh berkurang dari 4 hari menjadi 1 hari. Daendels mulai membangun jalan dari Buitenzorg (Bogor) menuju Cisarua dan seterusnya sampai ke Sumedang. Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di Sumedang, proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang sulit karena terdiri atas batuan padas. Akibatnya pembangunan jalan macet. Ketika mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan komandan pasukan zeni Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan artileri, bukit padas berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung (Kandanghaur !?, penyusun). Sampai Karangsambung, proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja upah. Para bupati pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu dan masing-masing setiap hari dibayar 10 sen per orang dan ditambah dengan beras serta jatah garam setiap minggu.

Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden yang disediakan Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di luar dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan tersebut. Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan itu Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus diteruskan dengan alasan untuk kepentingan mensejahterakan rakyat. Para bupati diperintahkan untuk menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan. Sementara itu para bupati harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan diteruskan dari Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon. Daendels hanya melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di Jawa Timur saat itu.

Proyek pembangunan jalan Daendels ini dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa kala itu, bahkan juga untuk ukuran sekarang, yakni 18 – 20 km/jam di tempat-tempat yang datar. Sepanjang jalan, setiap jarak 150,960 meter harus didirikian sebuah tonggak/paal untuk jadi tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi setiap distrik (kewedanaaan) untuk memeliharanya.


Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke Inggris. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena penentangan terhadap Daendels berarti pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu membuat beberapa orang pejabat seperti Prediger (Residen Manado), Nicolaas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas pimpinan Hooge Regeering) dipecat. Mereka yang dipecat ini kemudian kembali ke Eropa dan melalui informasi yang dikirim dari para pejabat lain yang diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F. Waterloo Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka menulis keburukan Daendels. Di antara tulisan mereka disebutkan terdapat proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan dengan kerja rodi dan meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada di Jawa ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari penyebutan pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan, padahal Daendels membuatnya dimulai dari Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip mereka lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip Belanda, sementara data-data yang dilaporkan oleh Daendels atau para pejabat yang setia kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister Surakarta) tidak ditemukan kecuali tersimpan di Perancis karena Daendels melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah penghapusan Kerajaan Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang banyak mengandalkan informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kekeliruan dengan menerima kenyataan pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi.

Kontroversi lain yang menyangkut laporan pembangunan jalan ini adalah tidak pernah disebutkannya manfaat yang diperoleh dari jalan tersebut oleh para sejarawan dan lawan-lawan Daendels. Setelah proyek pembuatan jalan itu selesai, hasil produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak yang diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi. Begitu juga dengan adanya jalan ini, jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos. Karena itu jalan ini oleh Daendels disebut dan diperkenalkan sebagai De Groote Postweg, Jalan Raya Pos, lebih untuk menutupi fungsi strategis militernya.

Sayangnya tidak ditemukan catatan tentang konstruksi apa yang digunakan pada De Groote Postwage ini. Sebagian besar sejarawan hanya menyatakan berdasar laporan-laporan yang ada, bahwa ribuan orang dikerahkan untuk memecah batuan guna pembuatan jalan tersebut. Jika menilik dari kurun waktu pembuatannya, bisa jadi jalan ini dibangun bersamaan dengan yang dikerjakan oleh John Metcalf, Thomas Telford, dan John Loudon McAdam, atau paling tidak tidak terlalu jauh beda waktunya. Juga belum ditemukan catatan, apakah jalan tersebut sudah menggunakan ter sebagai bahan perekat.

Kesalahan jamak yang banyak terjadi saat ini adalah menganggap bahwa jalur pantura Jawa merupakan jalur jalan Daendels. Pada kenyataan sejarahnya jalur De Groote Postwage adalah Anyer (Banten) – Jakarta – Bogor, Puncak – Cianjur – Cimahi – Bandung – Sumedang – Kandanghaur – Cirebon, dan seterusnya sampai Panarukan di Banyuwangi, ujing timur Jawa Timur. Sementara itu jalur pantura Jawa mengikuti ruas Anyer (Banten) – Jakarta – Bekasi – Karawang – Cikampek – Pamanukan – Cirebon, dan seterusnya sampai Banyuwangi. Jalur Jakarta sampai Cirebon sesuai jalur pantura Jawa ini bisa jadi lebih berkaitan dengan jalur penyerangan Sultan Agung (Kerajaan Mataram) ke VOC di Batavia.

Saat ini, baik jalur pantura maupun de groote postwage memiliki peran yang teramat penting bagi perekonomian Indonesia. Setiap hari puluhan ribu kendaraan (baik sebagai angkutan barang maupun penumpang) melewati jalur ini. Perhatian khusus perlu diberikan pada angkutan barang di jalur ini karena ditengarai membawa beban yang jauh melebihi daya dukung yang direncanakan. Jalan-jalan nasional di Indonesia hanya direncanakan untuk dilewati oleh kendaraan dengan MST (muatan sumbu terberat) sebesar 10T, sedang jalan propinsi hanya MST 8T. Kondisi ini menyebabkan jalan menjadi lebih cepat rusak dari waktu yang direncanakan sehingga perlu diupayakan metode penanggulangannya. Dari sisi aspal kemudian lahirlah kebutuhan untuk meningkatkan properties material melalui penggunaan aspal modifikasi sejak tahun 2002-2003.



Jalan Aspal Buton 6]

Pada sekitar tahun 1920an, Hetzel (seorang geolog Belanda) menemukan singkapan-singkapan deposit aspal alam di Pulau Buton. Pada tahun 1936 Hetzel telah berhasil memetakan lebih dari 20 lokasi singkapan deposit (data ini masih terus dipakai sampai sekarang, karena belum ada lagi data yang lebih baru).


Pengusahaan pertambangan aspal Buton dilakukan oleh perusahaan Belanda yang bernama N.V. Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton. Produksi dan pengapalan aspal dari Buton dalam catatan HW Vonk dapat dilihat pada tabel berikut.

Data Produksi dan Pengapalan Aspal dari Buton. a) b)

Tahun

Jumlah Diangkut (ton)

1934

3.749

1935

7.905

1936 3)

4.900

1938

20.000

1939

12.000

1940

57.000

a) La Ode Rabani, Perkembangan Industri Dan Infrastruktur Kota Buton 1920an-1942, 2004.
b) MvO. H.W. Vonk, Nota Betreffende hetzel fbestuurend landschap Boeton, Celebes en Onderhoorigheden, 1937.
Dalam ANRI, Koleksi Microfilm Reel 31, Jakarta.
c) Data tahun 1936-1940 diambil dari Majalah “Copra in East Indonesia” in The Economic Review Vol I No. 4,
Departemen of Economic Affairs, Batavia-Java, tahun 1947, hlm. 122.


Deposit aspal alam di Pulau Buton termasuk tipe rock asphalt yang berasosiasi dengan material setempat seperti kapur, tanah, humus, lempung, dan sebagainya. Kadar aspal yang terkandung dalam asbuton ini sangat bervariasi, dengan yang tertingginya terdapat di Kaboengka sumur A dan E serta di Lawele. Oleh karena infrastruktur jalan dan pelabuhan ekspor di Lawele belum berkembang, maka penambangan hanya dilakukan di daerah Kaboengka dan Winto yang dekat dengan pelabuhan ekspor di Pasarwajo.

Penambangan dilakukan dengan cara manual dan hanya memilih deposit dengan kadar tinggi, karena yang memang langsung dipakai. Salah satu metode pemanfaatannya dikenal dengan nama Boetonald, yakni aspal alam Buton kadar tinggi yang diencerkan dengan aspal dari kilang. Penggunaan aspal Buton ini banyak dilakukan di Batavia, Jawa bagian Timur, dan Netherland. Namun sampai sekarang Penulis belum menemukan catatan tepatnya di ruas jalan mana aspal Buton ini digunakan. Tentu saja dapat disimpulkan pembuatan jalan dengan hotmix di Indonesia (Batavia atau Jawa Timur) sudah dilakukan jauh sebelum negeri ini diproklamasikan tahun 1945.

Selama masa pendudukan Jepang terhadap Indonesia tidak tercatat adanya kegiatan penambangan batuan aspal Buton. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan asbuton dimasukkan dalam Bagian BUTAS (BUTon ASphalt) dari Jawatan Jalan-jalan dan Jembatan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga yang dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga tertanggal 31 Desember 1954 Nomor P 25/ 56/13 dan 19 Desember 1955 Nomor P 25/51/117]. Bagian BUTAS ini merupakan hasil nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda N.V. Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton yang mengelola asbuton selama masa penjajahan Belanda.

Selanjutnya Bagian BUTAS ini dipisahkan dan berdiri menjadi PAN (Perusahaan Aspal Negara) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 195 yang disyahkan pada tanggal 12 Mei 1961. Tanggal ini kemudian diusulkan sebagai hari aspal nasional, namun tidak mendapat banyak respon seiring dengan memudarnya pamor aspal Buton.

Hasil produksi penambangan yang tercatat selama masa PAN ini sebesar 31.215 ton pada tahun 1969 dan meningkat hingga 115.000 ton pada tahun 1973. Pemerintah Orde Baru (Presiden Soeharto) saat itu berencana untuk terus meningkatkan produksi tambang asbuton seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan aspal bagi pengembangan infrastruktur jalan. Bagian BUTAS dan PAN banyak meneruskan studi eksplorasi tambang asbuton dan menuangkannya dalam peta-peta lokasi deposit serta rencana kegiatan penambangannya.

Seiring dengan berbagai penataan perusahaan-perusahaan milik negara, pada tanggal 30 Januari 1984 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 3 Tahun 1984 tentang Pengalih­an Bentuk Perusahaan Aspal Negara menjadi Perusahaan Per­seroan (PERSERO)8]. Perusahaan Perseroan tersebut kini dikenal sebagai PT Sarana Karya (Persero). Pada masa ini didapati perubahan orientasi cara pemanfaatan / penambangan asbuton dari generasi sebelumnya. Perubahan ini, bisa jadi, dilatarbelakangi oleh menipisnya jumlah deposit dengan kandungan aspal yang tinggi. Model penambangan baru yang diaplikasikan oleh PT Sarana Karya (Persero) dengan cara blasting diduga makin memperkuat dugaan bahwa deposit dengan kadar aspal tinggi sudah menipis / habis. [deposit dengan kadar tinggi tidak dapat diledakkan].

Kadar aspal yang rendah menjadikan upaya pemanfaatan deposit aspal Buton tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang standar. Berbagai metode pemanfaatan, seperi Latasir, Latasbum, asbuton curah, asbuton micro, BMA (Buton mastic asphalt), banyak menemui kendala di lapangan dan akhirnya mengalami kegagalan konstruksi. Hal ini menjadikan penggunaan aspal Buton mulai ditinggalkan. Kontraktor lebih menyukai menggunakan aspal kilang, karena metode produksi hotmixnya lebih mudah dan standar.

Mulai tahun 2004, seiring dengan kenaikan harga minyak bumi yang luar biasa (bahkan saat tulisan ini disusun, 19 April 2008, telah mencapai kisaran USD 110 per barrel, rekor sebelumnya hanya USD 40 pada tahun 1980) menjadikan harga aspal kilang juga naik sangat tajam. Tahun 2005, bahkan harga aspal kilang naik 100% dalam waktu kurang dari setahun. Hal ini menjadikan upaya untuk memanfaatkan aspal alam Buton dilirik kembali. Namun karena belum tersedianya teknologi pengolahan dan pemanfaatan yang handal, program penggunaan aspal Buton tahun 2007 (yang didukung oleh Peraturan Menteri PU) untuk proyek-proyek jalan nasional di 14 propinsi mengalami kegagalan.



Aspal Kilang 9]

Dengan banyaknya penemuan dan pengembangan sumber-sumber minyak bumi, sejak akhir tahun 1960an Indonesia masuk bergabung dalam OPEC (Organization of Petroleum Exporting Country). Sebagian besar minyak mentah Indonesia merupakan jenis light crude yang memiliki kandungan fraksi bahan bakar tinggi, sehingga berharga sangat mahal. Minyak mentah ini oleh Pemerintah Indonesia diekspor keluar negeri. Untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar di dalam negeri, Pemerintah Indonesia melalui Pertamina mengimpor minyak mentah dari kawasan Timur Tengah yang harganya lebih murah. Crude oil dari timur tengah ini lebih banyak mengandung aspal dibandingkan crude oil Indonesia. Seluruh kilang yang ada di Indonesia saat ini dioperasikan oleh Pertamina, oleh karena itu Pertamina merupakan satu-satunya produsen aspal kilang di dalam negeri.

Sampai tahun 1990an, produksi aspal kilang dilakukan di 4 unit kilang Pertamina, seperti tercantum dalam berikut ini.

Unit Kilang

Kapasitas

ton / tahun

Catatan

Pangkalan Brandan

10.000

Plaju

8.500

Wonokromo

-

Hanya unit blowing

Cilacap

513.000



Berkaitan dengan jenis aspal yang diinginkan oleh PU (Binamarga), maka penggunaan blown asphalt tidak lagi populer, sehingga unit blowing di Wonokromo ditutup. Begitu pula, seiring dengan efisiensi operasi kilang, produksi aspal di kilang Pangkalan Brandan dan Plaju dihentikan. Saat ini produksi aspal hanya dilakukan di unit kilang Cilacap dengan kapasitas terpasang (setelah penambahan Unit Crude 2, dan beberapa kali upgrading) sebesar 720.000 ton per tahun. Realisasi lifting aspal terbesar tercatat hanya berkisar pada 560.000 ton per tahun.

Distribusi aspal dilakukan melalui distributor / agen dalam bentuk curah dan kemasan drum yag dilakukan dari 2 supply point, yakni kilang Cilacap dan PAG (Pabrik Aspal Gresik). Meski bernama pabrik, PAG sebenarnya hanyalah merupakan supply point dengan aspal curahnya diangkut dari kilang Cilacap dengan kapal tanker. Penyaluran aspal curah ke terminal storage distributor dilakukan dari 2 supply point tersebut dengan menggunakan tanker. Penyaluran aspal curah melalui pipa khusus bawah tanah dilakukan oleh Pertamina kepada Grup PT AMU (Asphalt Mitra Utama; salah satunya adalah PT Bintang Jaya) karena lokasi terminalnya berada di sebelah kilang Cilacap.

Filling Plant, unit pengisian aspal ke dalam drum (termasuk pembuatan drumnya), dilakukan juga di kilang Cilacap dan PAG, ditambah dengan satu distributor yang memiliki licence untuk itu, yakni PT Muara Perdana (tergabung dalam grup AMU). Drum sheet yang digunakan memiliki ketebalan 0,63 mm dengan berat isi bersih aspal sebesar 155 kg per drum.

Berkembangnya pembangunan wilayah maupun sentra-sentra ekonomi mendorong konsumsi aspal untuk pembangunan jalan, sehingga supplainya tidak lagi dapat dicukupi oleh kapasitas kilang Cilacap. Untuk mencukupi ini para importir mendatangkan aspal dari berbagai kilang luar negeri (Singapore, Thailand, Iran, Saudi Arabia, Irak, dan Malaysia) dalam bentuk curah maupun drum.

Referensi :

4] Wikipedia Indonesia, Herman Willem Daendels,
http : //id.wikipedia.org/wiki/Herman_Willem_Daendels
5] Pramoedya Ananta Toer, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Lentera Dipantara, Jakarta, 2005.
6] La Ode Rabani, Perkembangan Industri Dan Infrastruktur Kota Buton 1920an -1942, 2004
7] Pusdata Dept. PU, Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga tertanggal 31 Desember 1954 Nomor P 25/ 56/13 dan 19 Desember 1955 Nomor P 25/51/11
8] Pusdata Dept. PU, Peraturan Pemerintah nomor 3 Tahun 1984 tentang Pengalih­an Bentuk Perusahaan Aspal Negara menjadi Perusahaan Per­seroan (PERSERO)
9] Pertamina, Brosur, leaflet, dan berbagai sumber

Sejarah Aspal Dunia

Sejarah penggunaan aspal telah dimulai sejak ribuan tahun sebelum masehi oleh bangsa Sumeria dan Mesopotamia. Mereka menggunakan aspal (sering disebut bitumen) sebagai lapis pengedap untuk bak mandi maupun kolam-kolam air di istana dan kuil. Tentu saja aspal yang digunakan adalah aspal yang didapat secara alami. Aspal terdapat di alam dalam bentuk lake asphalt (seperti dodol) dan rock asphalt (biasanya keras, campuran dari aspal, tanah, kapur, dan lempung). Aspal tercatat pertama kali digunakan sebagai bahan konstruksi jalan, terjadi di Babilonia sekitar tahun 625 SM pada masa kekuasaan Raja Naboppolassar seperti yang tercatat dalam prasasti peninggalannya.

Istilah aspal berasal dari bahasa Yunani kuno asphaltos, kemudian bangsa Romawi mengubahnya menjadi asphaltus, lalu diadaptasi ke dalam bahasa Inggris menjadi asphalt, dan kita menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi aspal.

Berabad kemudian setelah jaman Babilonia, Sir Walter Raleigh menuliskan dalam catatannya (tahun 1595) tentang penemuan deposit lake asphalt di Trinidad, dekat pantai Venezuela. Dia menggunakan aspal tersebut sebagai pelapis dinding kapalnya.

Sejarah penggunaan aspal untuk pembuatan jalan di abad modern dapat ditelusur kembali pada masa abad ke 18. Seorang insinyur Inggris yang bernama John Metcalf (lahir 1717) harus membangun jaringan jalan di Yorkshire dengan total panjang hampir 300 km. Jalan dibuat dengan batuan berukuran besar diletakkan di bawah sebagai pondasi yang kuat, kemudian di atasnya diberi batu galian, lalu kerikil sebagai lapis penutup. Thomas Telford membangun jaringan jalan di Skotlandia pada tahun 1803-1821 sepanjang hamper 1.500 km. Telford menyempurnakan metode pembuatan jalan Metcalf, dengan mengganti batu galian dengan batu pecah. Ketebalan lapisan batu pecah juga sudah dihitung berdasar karakter lalu lintas yang akan melintasi.

John Metcalf

Pada saat yang hampir bersamaan, John Loudon McAdam secara terpisah membangun jalan-jalan masuk menuju Skotlandia mirip dengan cara Telford. McAdam juga menemukan tanah yang terikut dalam keadaan kering tidak akan turun ke dasar jalan. McAdam mengatur batuan sedemikian rupa sehingga bertemu antar sudutnya dan membentuk permukaan yang kuat / keras. Pada masa-masa berikutnya, metode konstruksi ini diperbaiki untuk mengurangi debu jalanan di musim kemarau dengan cara disiram ter panas. Metode ini disebut dengan lapis tarmacadam.

John Loudon McAdam

Baru pada tahun 1870 campuran aspal digunakan untuk pembangunan jalan, yang dilakukan oleh seorang ahli kimia Belgia, yang bernama Edmund J. DeSmedt, ketika membangun jalan di depan balai kota Newark, New Jersey, USA. Campuran yang digunakan adalah pasir dan aspal alam dari Trinidad. Hasil yang memuaskan membuat para kontraktor pembangun jalan segera memanfaatkan aspal sebagai bahan konstruksi pada proyek-proyek pembangunan jalan yang dikerjakan.

Penggelaran hotmix aspal pada abad 18

Pada masa ini, aspal yang digunakan maupun campuran hotmix yang diproduksi belumlah memakai spesifikasi seperti yang kita kenal sekarang. Oleh karena proyek pembangunan jalan yang menggunakan aspal mulai meningkat banyak, untuk mempertahankan kualitas hasil yang baik, Pemerintah Kota New York hanya mensyaratkan penggunaan batu bata atau batu granit, namun dengan jaminan selama 15 tahun baik untuk material maupun pelaksanaan. Karena pengetahuan kontraktor masih terbatas, banyak jalan yang tidak dapat bertahan selama 15 tahun, dan sebagai akibatnya banyak kontraktor yang bangkrut. Akibat lanjutannya adalah proyek-proyek jalan berikutnya menjadi meningkat harganya untuk mengkompensasi garansi selama 15 tahun tersebut.

Sampai tahun 1900an, hampir seluruh aspal yang digunakan berasal dari aspal alam Trinidad. Di sisi lain, mulai banyaknya penemuan sumur-sumur minyak bumi membuat perkembangan kilang (refinery) semakin banyak dan meluas. Dari pengoperasian kilang ternyata juga dihasilkan aspal. Akhirnya, pada tahun 1907 aspal yang dihasilkan dari kilang telah menggeser penggunaan aspal alam Trinidad, karena aspal kilang lebih murah harganya.

Produksi HMA (Hot-Mix Asphalt, selanjutnya disebut hotmix saja) pertama kali dilakukan secara manual, dengan cara memanaskan batuan atau pasir di atas plat besi dengan menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Lalu aspal dituang, dan pekerja kemudian mengaduk-aduk (membolak-balik) secara manual. Penggunaan alat pengaduk, mixer, secara mekanis pertama kali dilakukan di Paris pada tahun 1854, namun masih sangat sederhana dan terbatas, sehingga untuk memproduksi satu batch saja perlu waktu empat jam.

Fasilitas produksi hotmix pertama yang memiliki komponen-komponen dasar seperti yang kita pahami sekarang dibangun oleh perusahaan Warren Brothers di East Cambridge tahun 1901. Rotary drum dan rotary drier pertama kali digunakan untuk produksi hotmix pada tahun 1910. Mekanisasi sistem pengumpan dingin mulai diterapkan tahun 1920, sementara vibrating screen dan sistem injeksi tekanan (untuk pembakaran) mulai ditambahkan sejak tahun 1930.


Rombongan peralatan kontraktor akan menggelar hotmix, awal abad 19
(saat ini dikenal sebagai mob-demob peralatan)

Metode pelaksanaan (konstruksi) juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pada masa awal, setelah hotmix dituang di lokasi proyek, lalu disebar dan diratakan dengan tangan lalu dipadatkan dengan roller yang masih ditarik dengan kuda. Tahun 1920 tercatat penggunaan pertama spreader secara mekanis untuk menghampar hotmix (mengadop dari pelaksanaan pekerjaan beton). Tahun 1930, Sheldon G. Hayes adalah orang yang pertama menggunakan finisher (tipe Barber-Greene) untuk menyebar atau menghampar hotmix. Finisher ini terdiri atas unit traktor dan screed yang dilengkapi dengan vertical tamping bar.

Dumptruck (awal abad 19) sedang menuang hotmix.


Tandem Roller (stoom) awal abad 19

J.S. Helm, President of the Asphalt Institute, pada tahun 1939 menyatakan bahwa aspal sudah menjadi material yang sangat penting untuk pembangunan maupun pemeliharaan jalan. Dalam waktu empat tahun, 1934-1937, jalan yang dibangun dengan HMA (hotmix asphalt) sudah lebih dari 80%.

Selama perang dunia kedua teknologi peningkatan kualitas aspal maupun metode konstruksi jalan berkembang pesat seiring dengan kebutuhan dunia militer untuk mengakomodasi pergerakan dan mobilisasi alat-alat perang yang relatif berat. Ketika perang selesai dan orang banyak berpindah ke perkotaan, proyek-jproyek jalan di Amerika mengalami masa booming. Pada tahun 1956, Konggres Amerika menyetujui undang-undang pembangunan jalan yang menelan dana hingga USD 51 milyar untuk pembangunan jalan nasional saja (bandingkan dengan anggaran Binamarga untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan nasional tahun 2008 ini yang hanya berkisar USD 2 milyar; inipun setelah ada kesadaran dari Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki infrastruktur jalan, masa-masa sebelumnya hanya maksimal separuhnya). Lonjakan proyek-proyek jalan ini membuat kontraktor membutuhkan peralatan yang lebih besar kapasitasnya dan juga lebih bagus kinerjanya. Paver dengan sistem kontrol elektronik untuk mengatur level penghamparan hotmix mulai diperkenalkan tahun 1950, sedang screed yang dilengkapi dengan kontrol mulai digunakan tahun 1960an. Finisher yang dapat digunakan untuk menghampar dua lajur sekaligus mulai digunakan tahun 1968. Salah satu inovasi peralatan yang cukup penting untuk dunia konstruksi jalan adalah dengan diperkenalkannya alat angkut hotmix yang dapat membuang dari bawah (saat ini kita mengenalnya dengan sebutan dumptruck), sehingga hotmix dapat dimasukkan ke bagian depan paver (finisher), dan paver dapat beroperasi secara terus-menerus.

Sampai tahun 1950an, pemadatan hotmix di lapangan hanya menggunakan tandem roller yang ringan ditambah dengan three-wheel roller yang berat. Saat ini, pemadatan sudah dilakukan dengan 5-wheel roller dan tandem roller yang dilengkapi dengan sistem penggetar (vibratory).

Asphalt Sprayer (awal abad 19)


Referensi :

1] National Asphalt Pavement Association, History of Asphalt, http://www.hotmix.org/history.php

2] Asphalt Guide, Asphalt History, http://www.asphalt-guide.com/asphalt-history.html

3] Stephen Brown, The Shell Bitumen Handbook, 1st edition, Shell Bitumen UK, 1990